+62 21 38433607 info@mfi.or.id

Blog: Article

Back

71 Th RI BINGKISAN REVOLUSI

19 August 2016 14:23:36 - Oscar Motuloh - Chairman of The Board

img_6505.jpg 

 

Itu suara sarkastis dari sekelompok perupa grafis muda Yogyakarta yang menggunakan elemen sosial berlatar sejarah pada mural-mural mereka di tembok kota. Suara yang menggemuruh sebagai representasi tafsir atas kebanyakan kawula muda masa kini, termasuk orang parlemen dan para pengelola negeri.  Generasi kontemporer adalah insan millennium yang menggengam dunia dalam pasangan setia mereka bernama gadget. Perangkat super cerdas itu menemani mereka berselancar mengarungi peradaban berkode sandi “no pic, hoax”. Gawai menjadi elemen PR alias humas dan jubir setia generasi. Begitu dahsyatnya fenomena ini sehingga subyek superlatif sinergi “aku” dan kamera, memperoleh kosakata baru dalam kamus sebagai “selfie”. Gambar wajib ada demi menyertai sebentuk eksistensi.

Jika dihitung sejak Proklamasi  digaungkan tujuh puluh satu tahun silam, maka sekarang, kawula mereka, generasi ketiga kaum menengah, mulai memimpin seraya memegang kemudi ke arah mana peradaban Republik kita bakal bertiup. Mereka melayarkan bahtera jaman. Meninggalkan generasi perintis yang masih tersisa, dari sebentuk era yang penuh gejolak dengan kisah dan epos pengorbanan nan heroik, bergelimang peluh, air mata serta darah dari putra-putri generasi kontemporer pada jamannya. Mereka adalah para perintis negeri yang sadar bahwa kemerdekaan hanya dapat dicapai dengan mempersatukan keberagaman suku bangsa di tanah air sebagai kekuatan yang memancarkan kemuliaan bagi negeri yang kelak bernama Republik Indonesia.

Kemerdekaan tak lagi menjadi sekadar idealisme, dia adalah tren generasi muda ketika itu.  Setiap profesi mengambil perannya. Dari pena dan kamera, sampai sangkur yang terhunus; dari kembang merekah sampai letusan mesiu. Saat rakyat dengan aneka kemajemukan bersatu, maka mereka tak mungkin dikalahkan. Mereka  telah berhasil mengemban  landasan misi, merebut kemerdekaan dan menghapuskan penjajahan dari bumi Indonesia. Jaman berganti, makna kemerdekaan beralih rupa menjadi kata kunci yang bernama perawatan, pelestarian sekaligus pengamalkannya.  Amanat bagi generasi penerus itu tak kalah mulia dan heroik dibanding dengan bagaimana cara memperolehnya. Kemerdekaan  adalah  sejarah  yang  menjadi identitas dan refleksi jiwa bangsa, bukan artefak keramat dan berhala yang harus disembah dengan aneka dupa dan kemenyan. Atau  disimpan dalam gadget kita sebagai memori yang ditekan hanya ketika dibutuhkan.

Dalam misi merawat kemerdekaan, dengan segala keterbatasannya, Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) tumbuh untuk mengembannya, sejak didirikan pada 27 Desember 1992, tentu dalam spesifikasi di bidangnya, yakni dokumenter  dan  fotografi jurnalistik. Ribuan materi foto kesejarahan periode 1945-1950 dari sumber primer telah masuk dalam katalogisasi kearsipan yang disimpan Divisi Pemberitaan Foto Antara. Highlight nya telah diterbitkan dalam sejumlah buku dan katalog yang menyertai pameran foto di GFJA termasuk pameran dan penerbitan buku 71thRI BINGKISAN REVOLUSI yang tengah kita simak saat ini.  Pameran sekaligus bingkisan bagi  bangsa dan negeri ini,  menyertakan sumbangan dari para kontributor sahabat GFJA (Rahasia Kereta Api Penyelamat Republik, ditulis sejarawan Rusdhy Hoesein; Novel grafis karya Flip Peeters, veteran Belanda yang pernah bertugas di Jawa Timur 1947-1950, kurator Hans van den Akker;  kisah visual  prajurit Charles van der Heijden, berdasar penelitian Willy Adriaans dari Museum Bronbeek Arnhem, Amplop Foto dari Satu Jaman, koleksi Sektaris Negara, Moch.Ichsan yang eseinya ditulis oleh putranya, Firman Ichsan; pengamat komik Indonesia, Seno gumira Ajidarma, Komik strip Put On dan komik Wiro  Anak Rimba yang diulas Seno Gumira Ajidarma serta Prangko vs Blokade Belanda  yang disarikan dari katalog “Vienna & Philadelphia Printings and sub Areas of the Republic of Indonesia” yang diterbitkan Masyarakat Filateli Dai Nippon, Agustus 2003, dihimpun Henk Ramkema/Leo B. Vosse).

Sejarah kebhinnekaan Indonesia, dengan segenap kemerdekaan atas agama, budaya, seni dan tradisinya adalah warisan terpenting generasi perintis yang nyata. Warisan yang wajib dirawat segenap insan Indonesia sebagai jejak dan identitas untuk kelangsungan masa depan bangsa kita. Demokrasi telah menggelinding sesuai dengan corak dan romansa pemimpinnya, sementara hari jadi ke 71 tahun republik yang tengah kita rayakan saat ini mengandung seutas pertanyaan, adakah pondasi lima sila yang dikerek Republik ke puncak peradaban dengan segala tantangan dan intimidasi, mampu berkibar dengan lestari dari generasi ke generasi dan mengalir sampai jauh?

Masa penjajahan telah tumpas, namun pengelola negeri harus mampu mengatasi gejala kolonialisme baru yang mengintimidasi Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Kemerdekaan hadir untuk memuliakan kemanusiaan dan peradaban yang terbangun darinya. Peradaban ada untuk merayakan kehidupan, bukan untuk menebar benci dan perintah kematian.

0 Comments

Please Log in to read all comments and write one

Untuk afiliasi silakan